Danantara untuk Transisi Energi: Solusi atau Celah Korupsi?

Sita Mellia Penulis

22 Maret 2025

total-read

15

6 Menit membaca

Danantara untuk Transisi Energi: Solusi atau Celah Korupsi?

Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025. Danantara, yang didirikan sebagai sovereign wealth fund, akan mengelola investasi aset perusahaan negara  sejumlah lebih dari US$ 900 miliar atau sekitar Rp14 ribu triliun pada beberapa proyek strategis pemerintah, termasuk energi terbarukan, hilirisasi, serta ketahanan energi. Harapannya, lembaga ini dapat memacu target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 8%. 

Sebagai awalan, lembaga ini akan mengelola investasi dari tujuh perusahaan pelat merah senilai Rp1.000 triliun—tiga di antaranya termasuk BUMN terbesar sektor energi dan pertambangan yakni PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan Mining Industry Indonesia (Mind ID). 

Pemerintah memang mencoba meyakinkan publik bahwa Danantara akan dikelola secara transparan dan akuntabel, serta mengikuti proses kehati-hatian dalam pengambilan keputusan bisnis. Harapannya, lembaga ini dapat berkiprah gemilang di bisnis global seperti layaknya Temasek, perusahaan Singapura.

Kendati begitu, kontroversi—terutama menyangkut tata kelola—mewarnai peluncuran Danantara. Misalnya, pemerintah mengalokasikan Rp 300 triliun uang hasil efisiensi anggaran untuk modal awal pendirian lembaga ini. Padahal, efisiensi yang dilakukan sejak awal bulan lalu telah berdampak pada berbagai program pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan publik—termasuk pembinaan dan pengawasan transisi energi terbarukan. 

Suara keraguan terhadap Danantara semakin kencang setelah Kejaksaan Agung mengungkapkan dugaan penyelewengan tata kelola minyak mentah dan produk turunannya di PT Pertamina (Persero). Selama 2018-2023, aktivitas tersebut dinilai merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. 

Dengan kontroversi tersebut, Danantara jelas masih memiliki pekerjaan rumah untuk membangun tata kelola yang baik. Jika tidak, lembaga ini akan sulit mendapatkan kepercayaan pasar, alih-alih berkolaborasi dengan dunia usaha untuk mencapai salah satu tujuan strategisnya, yaitu transisi energi.

Sarat unsur politis

Pemerintah masih perlu meyakinkan publik bahwa Danantara bebas dari konflik kepentingan. Sebab, sederet pejabat pemerintah diketahui menduduki posisi strategis di Danantara. Menteri BUMN Erick Thohir, misalnya, menjadi ketua dewan pengawas Danantara. Salah satu anggota dewan pengawas juga diduduki oleh Presiden RI ketujuh Joko Widodo yang merupakan ayah kandung dari Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming. 

Dalam hal operasional lembaga, pejabat Pelaksana Bidang Investasi (CIO) Danantara diduduki Pandu Sjahrir, anggota tim pemenangan Prabowo-Gibran dalam Pemilihan Presiden lalu. Selain itu Wakil Menteri BUMN, Dony Oskaria, juga merangkap menjadi Pelaksana Bidang Operasional.

Sejumlah kajian menunjukkan bahwa konflik kepentingan merupakan akar dari berbagai penyelewengan. Ini pun terbukti dalam kasus megakorupsi perusahaan negara 1MDB (1 Malaysia Development Berhad). 

Dalam kasus 1MDB, eks Perdana Menteri Malaysia Najib Razak turut berperan sebagai dewan penasehat lembaga. Dalam perjalanannya, 1MDB menjadi sarang penyalahgunaan kekuasaan, pencucian uang, dan korupsi. Najib terbukti mencuri sekitar $4,5 miliar, kemudian dialirkan ke rekening orang terdekatnya sebelum disulap menjadi properti berharga seperti kapal pesiar mewah, karya seni, dan sebagainya.

Rapor merah

Indonesia memang belum memiliki sovereign wealth fund khusus transisi energi, tetapi pemerintah telah membentuk BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Sebagai lembaga yang mengelola dana dari pungutan ekspor produk kelapa sawit, BPDPKS bertugas untuk mensubsidi selisih harga antara biodiesel berbasis kelapa sawit dan bahan bakar fosil. Tujuan utamanya untuk memastikan harga biodiesel tetap terjangkau bagi konsumen dan mendukung keberlanjutan program mandatori biodiesel nasional.

Oleh karena BPDPKS berada di bawah Kementerian Keuangan, skema pengelolaan dananya diatur oleh kebijakan komite pengarah dan program pemerintah. Dalam operasinya, BPDPKS menyalurkan dana bantuan ke rekening lembaga keuangan perbankan dan kelembagaan perkebunan. 

(Sumber: Satya Bumi / Infografis: Sita Mellia)

Alih-alih meringankan beban petani kecil, BPDPKS menggelapkan subsidi biodiesel yang menguntungkan sekelompok pejabat pemerintah. Laporan Satya Bumi di tahun 2024 menemukan adanya 17 orang pejabat perusahaan biodiesel yang terindikasi sebagai PEP (politically exposed person) atau orang yang dekat dengan kekuasaan, dimana lima diantaranya mantan anggota tim pemenangan calon presiden pada pemilu 2019 dan 2024.

Belajar dari Norwegia

Norwegia memiliki dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) yang berada di bawah Kementerian Keuangan, yaitu Government Pension Fund Global (GPFG)—sering disebut Norwegian Sovereign Wealth Fund dan merupakan salah satu SWF terbesar di dunia.

Salah satu tugas dari GPFG adalah melakukan investasi yang berkelanjutan. Dalam mendorong transisi hijau dan memerangi krisis iklim, misalnya, GPFG tak tanggung-tanggung melakukan divestment—penarikan investasi dari perusahaan penghasil emisi tinggi seperti perusahaan tambang batu bara—dengan total USD 2,1 miliar. Keputusan ini dengan tegas diambil GPFG meski harus kehilangan peluang emas.

Meskipun Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap kebijakan GPFG, tetapi pemerintah Norwegia tidak terlibat langsung dalam kegiatan operasional. Pengelolaan dana dilakukan secara independen oleh Norges Bank. Selain itu, dewan pengawas Norges Bank juga tidak diduduki pejabat pemerintah yang aktif di kementerian atau parlemen.

Uniknya, GPFG memiliki Council on Ethics, atau Dewan Etika yang memiliki guideline khusus untuk mengevaluasi perusahaan-perusahaan mana saja yang perlu dikeluarkan dari portofolio investasi GPFG. Dewan Etika menyortir perusahaan-perusahaan yang melanggar HAM, merusak lingkungan, melakukan korupsi besar-besaran,  maupun perusahaan penghasil emisi tinggi. Norges Bank kemudian mengambil keputusan investasi berdasarkan rekomendasi dari Dewan Etika.

Prinsip tata kelola yang baik juga dimiliki oleh lembaga pengelola investasi pelat merah Singapura, Temasek. Institusi ini memiliki prinsip non-intervensi: pemerintah Singapura menahan diri untuk tidak mengintervensi penunjukkan dewan penasehat, pejabat operasional seperti manajer, maupun keputusan bisnis. Meski prinsip ini tidak diatur undang-undang, tetapi melekat kuat pada budaya pemerintah Singapura yang dibiasakan selama bertahun-tahun. Temasek juga berpegang pada prinsip lainnya: non-preferensi—melarang adanya perlakuan istimewa terhadap Temasek, khususnya ketika melakukan kesalahan.

Sayangnya, pelaksanaan prinsip ini justru menjadi pertanyaan besar lantaran Temasek tak luput dari konflik kepentingan yang masih membelit pascapenunjukan Ho Ching sebagai direktur eksekutif pada tahun 2002—kemudian sebagai CEO pada tahun 2004. Pun, Ho Ching, istri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, pernah menjabat sebagai CEO Temasek Holdings dari tahun 2004 hingga 2021.

Solusi yang layak

Danantara akan menjadi peluang baik untuk membiayai transisi energi jika berfokus pada return of investment serta menjauhkan unsur politis dalam keputusan investasi.

Sebaliknya, jika terdapat pejabat pemerintah yang merangkap sebagai pejabat operasional, lembaga ini akan menjadi boomerang yang membawa transisi energi Indonesia ke jurang masalah. Ditambah lagi, sejumlah nama seperti Rosan dan Pandu pernah menjadi pejabat di perusahaan pertambangan batu bara.

Danantara pun diharapkan menjadi penggerak untuk mendongkrak  pertumbuhan 8%dengan harapan angka tersebut sejalan dengan persyaratan non-formal  Indonesia untuk bergabung menjadi anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Padahal, OECD telah mendeklarasikan bahwa tata kelola sovereign wealth fund harus transparan dan tidak memiliki tujuan politis. 

Pun International Forum of Sovereign Wealth Funds (IFSWF)—platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman antar SWF—memiliki Prinsip Santiago yang melarang negara-negara anggotanya untuk ikut mengambil keputusan dalam investasi.

Pemerintah juga perlu berhati-hati dalam mempertaruhkan aset besar negara untuk menjalankan proyek-proyek strategis. Sebab, proyek krusial seperti hilirisasi nikel, misalnya, belum menciptakan transisi energi yang adil. Meski banyak memberi lapangan pekerjaan di awal pembangunannya, smelter nikel juga melahirkan kemiskinan baru di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara di tahun ke sembilan, menurut studI CELIOS dan CREA (2024).

Pemerintah masih memiliki waktu untuk mengkaji ulang tata kelola Danantara, di tengah demonstrasi warga yang menuntut keadilan. Di sela-sela pergerakan saham yang kian melemah pasca diluncurkannya Danantara, pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk mengembalikan kepercayaan publik serta menarik minat investor. 

Editor: Robby Irfany Maqoma

#danantara#dekarbonisasi#transisi-energi

Populer

Terbaru