PLTU dengan Penangkap Karbon vs Energi Terbarukan: Mana yang Lebih Bersih?
Sita Mellia • Penulis
20 Maret 2025
2
• 4 Menit membaca

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bisa ‘disulap’ menjadi bersih apabila dilengkapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS). Teknologi ini juga dipilih pemerintah untuk menyelamatkan PLTU batubara dari pemensiunan dini, lantaran mayoritas pembangkit di Indonesia (lebih dari 60%) masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar,
Pemerintah bahkan akan memasang teknologi CCS untuk mendukung kebijakan hilirisasi untuk menyalakan tungku peleburan pengolahan mineral di dalam negeri. Lebih jauh, PT PLN (Persero) tengah menyiapkan pemasangan teknologi CCS hingga 19 gigawatt di tahun 2060, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 8%—target Presiden Prabowo Subianto.
Lantas, dibandingkan dengan energi terbarukan, apakah CCS lebih baik?
Tantangan CCS
Teknologi CCS menangkap karbon yang terlepas dari pembakaran (dalam hal ini PLTU) kemudian menyimpannya di dalam tanah. Tujuannya untuk mencegah pelepasan karbon berlebihan ke atmosfer yang dapat memperparah perubahan iklim.
Global CCS Institute (2022) menjelaskan bahwa teknologi CCS terdiri dari tiga tahap, yakni penangkapan karbon, transportasi, dan penyimpanan. Pertama, karbon ditangkap dengan cara memisahkan CO2 dari gas buang. CO2 yang sudah terpisahkan kemudian dikompresi dan diangkut melalui pipa atau kapal. Setelah itu, CO2 disuntikkan ke lapisan dalam tanah.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan dua cekungan—struktur geologi bawah tanah untuk menyimpan CO2—sebagai CCS Hub atau pusat penyimpanan karbon, diantaranya adalah cekungan Sunda Asri dan cekungan Bintuni. Cekungan ini akan terus bertambah untuk menaungi 15 pilot project CCS hingga 2030.
Teknologi CCS saat ini masih terbilang mahal, rata-rata memakan biaya sebesar US$94 per ton CO₂ yang ditangkap dari PLTU, menurut laporan International Renewable Energy Agency pada 2021.
Studi pemasangan CCS yang dilengkapi infrastruktur pipa sepanjang 50km di PLTU di Blora; Jawa Timur, misalnya, akan memakan biaya 62,8 USD per ton CO2.
Dengan harga yang sangat mahal ini, efektivitas CCS masih meragukan. Studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa proyek-proyek CCS di seluruh dunia maksimum hanya bisa menangkap tak sampai 80% dari total emisi karbon.
Sebagai contoh, proyek CCS dari PLTU Boundary Dam 3 di Kanada dianggap gagal karena tak pernah memenuhi target penangkapan 1 juta ton karbon. Bahkan, proyek yang dimulai sejak 2015 ini sempat hanya menangkap 44% CO2 pada tahun keenam operasinya.
Kegagalan senada juga terjadi dalam proyek Petra Nova di Amerika Serikat. Teknologi CCS dalam proyek ini hanya mampu menangkap karbon sekitar 65-70% dari target.
Dua kasus di atas sekaligus membantah klaim pihak tertentu yang menyatakan teknologi CCS mampu mengurangi pelepasan karbon dari PLTU hingga 95%.
Selain itu, kajian Yayasan Indonesia Cerah di tahun 2023 menunjukkan bahwa CCS berisiko merusak tatanan ekologi, sosial, dan merugikan perekonomian negara. CCS merusak lingkungan, memiskinkan warga, serta merusak biodiversitas hutan. Selain itu, teknologi ini juga boros air, yang dapat mengancam pasok air masyarakat.
Risiko-risiko lingkungan dan sosial masih dapat timbul karena teknologi CCS masih memiliki potensi kebocoran akibat tekanan tinggi dari CO2. Sebuah analisis menunjukkan bahwa CO₂ yang bocor dari pipa dapat mengurangi kadar oksigen di udara sehingga bisa menyebabkan manusia mengalami sesak napas hingga kematian.
Terbaru, salah satu proyek CCS di Amerika Serikat mengalami kebocoran 8 ribu ton karbon cair akibat korosi baja di sumur penyerapan karbon. CO2 yang bocor kemudian mencemari sumber air warga sekitar, sehingga menjadi tidak layak minum.
Potensi PLTS dan PLTB
Dibandingkan dengan CCS, energi terbarukan seperti energi surya maupun angin dinilai jauh lebih ekonomis dan efektif untuk mengurangi emisi. Analisis International Renewable Energy Agency pada 2023 memaparkan bahwa energi surya telah mengalami penurunan harga yang signifikan, dengan rata-rata sekitar 30-50 USD per megawatt-jam (MWh). Sementara Global CCS Institute (2022) memaparkan bahwa PLTU yang dilengkapi CCS akan memakan biaya yang jauh lebih tinggi, sekitar 120 hingga 200 USD per megawatt-jam (MWh).
Memanen energi surya dapat dilakukan dengan panel fotovoltaik (PV) untuk mengubah sinar matahari menjadi listrik. Adapun energi angin dihasilkan dari kincir angin yang berputar. Produksi energi dari teknologi ini dinilai bebas emisi, memiliki biaya operasional rendah, dan dapat dipasang di berbagai lokasi.
Dengan biaya tersebut, International Energy Agency (IEA) menghitung bahwa penggunaan energi surya (PLTS) dapat menghindari 1,4 juta ton CO2 per gigawatt setiap tahunnya. Sementara penggunaan energi angin (PLTB) yang dipasang di daratan dapat menghindari lebih banyak pelepasan CO2—sekitar 2,8 juta ton per gigawatt setiap tahun.
Sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropis banyak mendapat energi matahari, sehingga potensial untuk membangun PLTS. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2022 menunjukkan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya sebanyak 3.294 gigawatt-peak (GWp). Sementara pemerintah telah memiliki target ambisius untuk meningkatkan kapasitas PLTS hingga 6,5 gigawatt (GW) pada tahun 2025.
Langkah ke depan
Berbagai bukti menunjukkan bahwa teknologi energi surya dan angin jauh lebih murah dan efektif mencegah perubahan iklim. Selain memanjangkan umur PLTU, CCS juga berisiko mengancam kelangsungan hidup masyarakat, setelah kemiskinan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meninggalkan rencananya mengandalkan teknologi CCS sekaligus mengakhiri PLTU, dan berfokus pada pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran.
Editor: Robby Irfany Maqoma