Energi Nuklir: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?

Cintya Faliana Penulis

20 Maret 2025

total-read

12

5 Menit membaca

Energi Nuklir: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?

Pemerintah kembali merencanakan pengembangan nuklir sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Rencana tersebut termuat dalam pembaruan Kebijakan Energi Nasional yang sudah disetujui. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merencanakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) akan mulai beroperasi pada 2032. Untuk meredam kekhawatiran atas keselamatan teknologi ini –mengingat kejadian di PLTN Fukushima I ketika Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011– pembangkit yang digunakan juga termasuk small modular reactor (SMR) berkapasitas 250 Megawatt (MW). 

SMR adalah pembangkit listrik tenaga nuklir yang berukuran kecil dirancang secara modular (siap rakit). Berbeda dari PLTN konvensional yang memiliki reaktor berukuran besar, SMR memiliki reaktor lebih kecil.

Apa bedanya dengan PLTN konvensional? Benarkah Indonesia membutuhkan PLTN atau SMR?

1. Kapasitas dan kebutuhan lahan

PLTN konvensional memiliki kapasitas yang sangat besar, antara 700-1000 MW per unitnya. Untuk itu, pembangunan PLTN membutuhkan lahan yang luas hingga 160 hektare.

Perbedaan reaktor dan kapasitas produksi listriknya (Sumber: IAEA).

Sementara itu, SMR memiliki kapasitas pembangkitan listrik lebih kecil maksimal 300 MW. SMR bahkan bisa terdiri dari sekumpulan reaktor-reaktor mikro yang berkapasitas 1-20 MW. Ini membuat kebutuhan lahan untuk PLTN dengan SMR lebih kecil, sekitar 40 hektare

Lahan PLTN (Sumber: Shuttlestock/Sk Hasan Ali).

Karena kebutuhan lahan yang tidak besar, SMR dapat ditempatkan di pulau-pulau kecil. Pembangkitan listrik dari SMR juga tidak harus tersambung dengan jaringan listrik (off-grid). 

2. Waktu dan biaya

PLTN konvensional membutuhkan waktu 5-7 tahun bahkan bisa mencapai 10 tahun untuk proses pembangunan. Akibat kerumitannya, biaya yang dibutuhkan juga rentan melonjak hingga 200% dari rencana awal.

SMR memiliki desain yang lebih sederhana dan sejumlah komponennya dibuat di pabrik sebelum dipindahkan ke lokasi instalasi. Pembangunan SMR pun hanya membutuhkan waktu 3-5 tahun. 

Kendati demikian, pembangunan SMR yang mungkin lebih sederhana tak menjamin biaya operasionalnya lebih murah. Sebaliknya, karena produksi listriknya yang sedikit, skala keekonomian SMR justru lebih rendah sehingga ongkos operasionalnya lebih mahal. Sebuah studi menaksir bahwa biaya produksi listrik dari SMR berkisar 15-70% lebih mahal dibandingkan PLTN konvensional.

Kita bisa melihat contoh pembangunan SMR di Utah, Amerika Serikat, yang memiliki harga jual listrik hingga US$102 per megawatt jam (MWh). Harga ini lebih mahal dibandingkan desain awalnya yakni sebesar US$55 per MWh. Selain karena faktor teknis, lonjakan harga terjadi karena kapasitas pembangkit yang diperkecil. Karena biayanya tak terjangkau, proyek ini akhirnya dibatalkan.

Risiko biaya tersebut dapat membayangi Indonesia. Penggunaan nuklir bisa berdampak pada tingginya ongkos pembangkitan listrik sehingga menciptakan dua risiko skenario: pembengkakan subsidi atau tarif listrik.

3. Keamanan

PLTN konvensional bergantung pada operator manusia untuk mempertahankan sistem pendinginan aktif. Ketergantungan ini bisa menimbulkan risiko jika terjadi bencana alam atau keadaan darurat.

(Sumber: Greenpeace/ Ardiles Rante)

SMR memiliki sistem pendinginan otomatis, sehingga tidak membutuhkan intervensi manusia secara terus-menerus. Selain itu, beberapa SMR menempatkan reaktor di bawah tanah. Hal ini mengurangi risiko dari bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Untuk mencegah pelelehan (meltdown), SMR juga tidak bergantung sepenuhnya pada sistem pendingin karena panas yang dihasilkan lebih rendah.  

Namun, ukuran SMR yang lebih kecil justru menciptakan risiko baru. Penempatan sejumlah reaktor modular dengan jarak yang berdekatan—biasanya untuk menghemat biaya—justru meningkatkan risiko kecelakaan dan keparahannya bagi orang-orang sekitar. 

Kita dapat belajar dari bencana PLTN Fukushima pada 2011 akibat kebocoran tiga dari enam unit reaktor. Ketiganya berjarak sangat dekat. Bencana tersebut menyebabkan kontaminasi radioaktif sehingga memaksa 165 ribu orang mengungsi.

Bahaya energi nuklir di Indonesia

Terlepas dibangun dalam skala besar maupun kecil, risiko pemanfaatan energi nuklir tetap membayangi Indonesia. Laporan Yayasan Indonesia CERAH mengungkapkan sejumlah alasan tenaga nuklir tidak bisa digunakan di Indonesia. 

Pertama, Indonesia tidak punya cadangan bahan bakar uranium yang memadai. Uranium merupakan bahan bakar utama untuk kebanyakan PLTN di dunia. 

Sementara, cadangan uranium terukur di Indonesia hanya 1.608 ton atau cukup untuk PLTN berkapasitas 1 GW selama 6-7 tahun saja. Artinya, pemerintah harus mengimpor uranium hingga akhir usia PLTN yang mencapai 30-40 tahun. Risiko ini berpotensi membebani keuangan negara.

Kedua, kondisi geografi yang berbahaya bagi operasional PLTN. Indonesia terletak di kawasan cincin api (gugusan gunung berapi dunia) yang membuat rentan terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami. 

Beberapa wilayah yang direncanakan menjadi lokasi pembangunan PLTN seperti Kabupaten Jepara, Provinsi Banten, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung juga tidak aman dari berbagai bencana alam dan kondisi iklim ekstrem.

Ketiga, besarnya risiko proyek mangkrak. Secara global, terdapat 92 unit PLTN yang terbengkalai dengan total kapasitas 86,7 GW sepanjang 1951-2023. Selain itu, per September 2023, dari 59 reaktor nuklir yang sedang dibangun, 22 di antaranya terlambat dari jadwal operasi.

Salah satu PLTN di Argentina berkapasitas 745 MW membutuhkan waktu 33 tahun (1981-2014) untuk pembangunan. Proyek ini direncanakan selesai pada 1987 dengan anggaran US$1,5 miliar. Namun terhenti pada 1999 ketika proyek baru rampung 80% karena kekurangan dana dan teknologi. Pemerintah Argentina melanjutkan pembangunan pada 2006 dengan investasi membengkak hingga US$2,4 miliar.

Tenaga Nuklir Solusi Palsu

Alih-alih menjadi energi baru yang ramah lingkungan dan menurunkan emisi, tenaga nuklir justru berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan baru. Pemerintah sebaiknya berfokus pada pemanfaatan energi terbarukan yang lebih murah dan minim limbah dibandingkan tenaga nuklir. 

(Sumber: Greenpeace/ Jurnasyanto Sukarno)

Tenaga nuklir berisiko menjadi solusi palsu yang menunda transisi energi, lantaran Indonesia justru berkutat pada teknologi mahal yang konstruksinya memakan waktu lama. Jika pemerintah berkukuh membangun PLTN, baik konvensional maupun berbentuk SMR, Indonesia juga berisiko terus  menjadi pengimpor bahan bakar yang membebani keuangan negara.

Editor: Robby Irfany Maqoma

#nuklir#pltn#solusi palsu

Populer

Terbaru